Tawakal adalah sebuah kata yg cukup akrab di telinga kita, terutama karena tawakal ini cukup sering dilontarkan para khatib Jum’at dalah khutbah2 mereka. Bahkan, tawakal sudah menjadi kosa kata dalam percakapan sehari-hari.
“Sudah bu, tawakal saja…”
“Yg tawakal ya pak?”
*dan masih banyak percakapan sejenis lainnya*
Sebenarnya, apakah tawakal itu? Jangan-jangan pemahaman tawakal kita selama ini salah karena kita cenderung mencari mudahnya saja? Atau malahan kita sama sekali tidak mengerti apa itu tawakal?
Tawakal, berdasar penuturan Rasululloh SAW, adalah BERSERAH DIRI KEPADA ALLOH SWT SETELAH SEBELUMNYA BERIKHTIAR DAN BERUSAHA SEMAKSIMAL MUNGKIN.
Sebuah kisah yg menunjukkan arti tawakal, saya cukil dari sebuah hadits riwayat Ibnu Hibban. Seorang sahabat hendak beribadah, namun tidak mengikat untanya. Ketika Rasululloh SAW menegurnya, sang sahabat menjawab bahwa dia bertawakal kepada ALLOH SWT. Lantaran jawaban itu, Rasululloh SAW menjawab,”IKATLAH unta itu, baru bertawakal kepada ALLOH SWT.”
Tawakal semodel ini berarti tawakal yg mempunyai hubungan sebab akibat.
Sementara itu, ada juga tawakal ‘jenis’ lain, yakni kebalikan tawakal di atas, tawakal tanpa sebab akibat. Contoh dari tawakal ini adalah kematian atau musibah.
Untuk tawakal jenis kedua, tentu saja kita tidak bisa menghindar atau menyalahkan orang lain (apalagi kepada ALLOH SWT) atas kejadian yg kita alami. Terlebih misalnya, rumah kita kebakaran akibat kecerobohan tetangga kita. Di saat seperti inilah, tawakal mesti dilakukan.
Ucapkan “Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun.” disertai dengan penghayatan yg sungguh2 sehingga keikhlasan akan menyelimuti batin kita.
Celakanya, masyarakat kita cenderung salah memahami tawakal. Tawakal yg seharusnya terkait sebab akibat dianggap sebagai tanpa sebab akibat. Akibatnya jelas, masyarakat kita mempunyai mental yg parah.
Contoh dari salah memahami tawakal:
“Ah, saya sudah miskin…tawakal saja saya sih.”
“Besok saja hendak ujian nih.”
“Sudah belajar?”
“Tidak…saya kan tawakal kepada ALLOH SWT.”
“Pak, kita punya hutang. Kapan kita mau bayar?”
“Sebentar…saya hendak berdoa kepada ALLOH SWT dulu. Minta petunjuk.”
*usai berdoa*
“Bagaimana pak, kapan kita lunasi hutang?”
“Saya bertawakal saja kepada ALLOH SWT.”
“Lho, jadi ga kerja cari uang?”
“Lha, saya kan sudah bertawakal?”
Demikianlah secuplik dialog yg terjadi di masyarakat kita. Anda mungkin tahu dialog2 di atas, baik yg mirip ataupun bahkan sama persis. Atau barangkali anda sendiri termasuk di antaranya?
Saudara-saudaraku, kesalahan memahami tawakal seperti yg terjadi di atas itu, yg membuat kita tidak pernah bisa maju. Padahal masyarakat muslim merupakan mayoritas di negeri ini, padahal Islam mengajarkan kemajuan (progresivitas), namun itu semua tidak nampak dan seakan tidak pernah ada.
Lantas, apa yg mesti kita lakukan?
Pertama, apabila ada suatu persoalan, kita cermati dahulu. Apakah persoalan ini termasuk yg ada sebab akibat, ataukah memang yg benar2 tidak ada kaitan sebab akibat?
Kedua, jika memang termasuk persoalan tanpa sebab akibat, maka sudah selayaknya kita benar2 berserah kepada ALLOH SWT. Sebaliknya, jika persoalannya adalah persoalan ‘duniawi’, maka KITA WAJIB BERIKHTIAR.
Ketiga, selama kita berikhtiar, iringi ikhtiar kita dengan doa. Panjatkan doa-doa yg menunjang. Misalnya kita berikhtiar mencari rejeki, maka iringi dengan doa minta rejeki yg halal dan banyak. Jika ikhtiar mendapatkan keturunan, maka perbanyak doa Nabi Zakaria as dan Nabi Ibrahim as, selain berusaha dengan melakukan hubungan suami istri dengan sehat.
Keempat, yg terakhir, setelah poin 1-3 sudah kita kerjakan, nah…barulah kita bertawakal. Serahkan semuanya pada ALLOH SWT. Karena DIA-lah yg berhak menentukan apakah semua ikhtiar dan doa kita akan dikabulkan. Jika belum dikabul, jangan menyerah untuk berdoa, karena doa merupakan salah satu senjata kaum Muslim.
Semoga artikel ini berguna.
Silahkan Di Share ke Teman teman Anda,,Terima Kasih..
Sumber
0 komentar on Ketika Tawakal Salah Dipahami :
Post a Comment and Don't Spam!
Sampaikan keluhan ,saran,atau pendapat tentang posting ini..